Translate

Kamis, 17 Januari 2013

KEPEMIMPINAN DAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN


KEPEMIMPINAN PADA MASA ORDE BARU
MAKALAH


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa ini membutuhkan pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat, pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang demikian kompleks. Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, pemimpin berwawasan kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945, serta memahami karakter dan kultur bangsa Indonesia.
Pemimpin dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus memiliki pola pikir, pola sikap dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan adalah seorang pemimpin yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat melaksanakan fungsi kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta dapat diandalkan. Seorang pemimpin harus memiliki reputasi yang baik, menunjukkan kinerja yang diakui,  terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan keberhasilannya mengatasi masalah masalah yang kritikal dan membawa kemajuan-kemajuan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal tersebut tergantung pada gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh setiap pemimpin. Gaya kepemimpinan yang tepat akan membawa sebuah bangsa ke arah yang lebih baik. Maka dari itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang gaya kepemimpinan nasional Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi untuk melihat gaya kepemimpinan seperti apa yang sesuai dengan bangsa Indonesia.
Kepemimpinan di Indonesia tentunya tidak akan pernah jauh dari masa kepemimpinan Soeharto. Rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto mampu berkuasa di Indonesia selama kurang lebih 32 dan akhirnya tumbang. Kepemimpinan Soeharto berlangsung selama Indonesia berada di zaman pembangunan. Soeharto menerapkan Demokrasi Pancasila selama periode kepemimpinannya.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.      Bagaimana gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto) ?
2.      Keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
3.      Mengapa kepemimpinan pada masa orde baru diganti dengan masa reformasi?

1. 3 Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk :
1.      Mengtahui bagaimana gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto).
2.      Mengetahui keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto.
3.        Mengetahui alasan munculnya masa reformasi.


BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1       Definisi Kepemimpinan
            Berikut definisi kepemimpinan menurut para ahli :
1.      Menurut Ralp Stogdill dalam bukunya Handbook of Leadership (1974). Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi suatu kelompok yang terorganisir dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2.      Dalam buku Fundamental Of Manajement, James H. Donelly (1975) mengemukakan: kepemimpinan adalah suatu proses mempengaruhi, kegiatan yang merupakan fungsi dari pada kharakter pribadi pemimpin dan pengikut serta sifat-sifat situasi yang spesifik.
3.      Berdasarkan studi literature Wiryono Hadi Kusumo (1973) dalam bukunya Validita Angket Kepemimpinan mengutip dua definisi kepemimpinan sebagai berikut :
a.       Kepemimpinan adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk bekerjasama menuju pada kesesuaian tujuan yang mereka inginkan.
b.      Kepemimpinan adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang-orag sedemikian rupa sehingga memperoleh kesediaan, kepatuhan, kepercayaan, dan kerjasama yang loyal dengan maksud menyelesaikan tugas (Manual FM, 22100)
4.      Bedeian & Gulleck Manajement (1983) mengemukakan: kepemimpinan adalah seni mempengaruhi kegiatan kelompok atau individu menuju pencapaia tujuan perusahaan.
5.      John A. Pearce And Richard B. Robinson (1989) dalam bukunya manajement mengemukakan: kepemimpinan adalah proses mempengaruhi yang lain untuk bekerja menuju pencapaian tujuan tertentu.

6.      Menurut Maman Ukas dalam bukunya Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi merumuskan bahwa kepemimpinan berarti (2009) kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain melalui suatu proses dan aktivitas agar ia mau berbuat sesuatu yang dapat membatu pencapaian suatu maksud dan tujuan.

              Dari berbagai definisi kepemimpinan diatas, dapat kami simpulkan bahwa kepemimpinan adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan individu atau kelompok agar tercipta loyalitas untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
2.2       Gaya Kepemimpinan
              Dari penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006) ditemukan bahwa kinerja kepemimpinan sangat tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan. Apa yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak efektif pada situasi yang lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau kelompok harus dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif, tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa bekerja dengan baik.
              Lebih lanjut menurut Prasetyo, gaya kepemimpinan adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu menurut Flippo (1987), gaya kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
              Menurut University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin menyimpulkan ada 3 gaya kepemimpinan; gaya kepemimpinan autokratis, gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan Laissez-Faire (Kendali Bebas).
1.      Gaya Kepemimpinan Autokratis
              Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling diuntungkan dalam organisasi. Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan.
              Lebih lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis:
1.  Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas.
3.  Pemimpin biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.
              Sedangkan menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis:
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota.
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya.


2.      Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif
              Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif. Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri (Rivai, 2006).
              Menurut Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan, mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan. Jerris (1999) menyatakan bahwa gaya kepemimpinan yang menghargai kemampuan karyawan untuk mendistribusikan knowledge dan
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan banyak keuntungan dapat menjadi 
motivator bagi karyawan dalam bekerja.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987):
1.      Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2.      Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
3.      Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
           
              Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997):
1.      Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan organisasi.
2.      Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3.      Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.

3.      Gaya Kepemimpinan Laissez-faire (Kendali Bebas)
            Gaya kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai (Robbins dan Coulter, 2002).
            Ciri-ciri gaya kepemimpinan kendali bebas (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997):
1.      Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur dirinya sendiri.
2.      Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan tujuan umum.
3.      Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.

BAB III
PEMBAHASAN
3.1         Kepemimpinan Pada Masa Orde Baru
Pemerintahan Soeharto yang di sebut Orde Baru memang mengambil alih kekuasaan dalam keadaan politik yang kacau, termasuk ketidakpastian ekonomi rakyat karena harga yang meningkat pesat dan tidak terjangkau oleh daya beli rata-rata masyarakat luas. Karena itu, sampai beberapa tahun kekuasaan beralih masalah ekonomi masih menjadi persoalan yang pelik.
Pemerintahan Soeharto pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk memacu pertumbuhan ekonomi, dan transformasi menuju industrialisasi. Ide gagasan awal dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang. Landasan pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses pembangunan.
Pada masa pemerintahan Soeharto, rakyat tidak bebas dalam bersuara, kebebasan rakyat dibatasi dengan banyak aturan, dalam berorganisasipun diatur oleh pemerintah secara nyata. Media Pers dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini mengisyaratkan adanya peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran. Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sedangkan untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa. Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat. Sehingga organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Sedangkan demi terwujudnya Negara yang bebas dari unsur PKI, Soeharto tak segan-segan dalam memberantas unsur PKI. Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu "tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap minoritas Tionghoa Indonesia. Belum lagi penculikan terhadap keluarga anggota PKI. Disini terlihat sekali bagaimana ambisiusnya seorang Soeharto untuk mewujudkan misi dan visinya tanpa menghiraukan hubungannya dengan masyarakat.
Ambisi yang lainnya saat menjadikan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente /partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil. Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang". Pemerintahan bagai dimonopoli agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Soeharto.
Disini dapat dilihat bahwa dalam gaya kepemimpinan Soeharto cenderung pada gaya kepemimpinan yang autokratis, karena pada masa orde baru kekuasaan lebih terpusat terlebih rakyat tidak diberi kesempatan untuk beraspirasi dengan adanya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982 yang didalamnya tidak boleh berserikat kecuali dengan izin pemerintah dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri, serta diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan).

3.2         Kelebihan Pada Masa Orde Baru
Kelebihan pada masa orde baru adalah sebagai berikut: 
1.      Perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari AS$1.000.
2.      Sukses transmigrasi
          Pada masa kepemimpinan presiden Soeharto sangat mementingkan persatuan bangsa Indonesia. Salah satu cara Pemerintah adalah dengan cara meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke daerah yang tidak terlalu padat seperti di luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. 
3.      Sukses REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Pembangunan nasional direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam Pelita yaitu 
1)      Pelita I
Pelita I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya. Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
2)      Pelita II
Pelita II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
3)      Pelita III
Pelita III dilaksanakan pada tanggal 1 April  1979  sampai 31 Maret  1984.  Pelaksanaan Pelita III masih berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur Pemerataan.
4)      Pelita IV
Pelita IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun  1980  terjadi  resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
5)      Pelita V
Pelita V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik dibanding sebelumnya.
6)      Pelita VI
Pelita VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat, dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
4.      Sukses KB 
5.      Sukses memerangi buta huruf 
6.      Sukses swasembada pangan 
7.      Sukses Gerakan Wajib Belajar
8.      Sukses Gerakan Nasional Orang-Tua Asuh 
9.      Sukses keamanan dalam negeri 
10.  Investor asing mau menanamkan modal di Indonesia 
11.  Sukses menumbuhkan rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
3.3     Kelemahan Pada Masa Orde Baru          
Ø  Politik
-          Mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB lagi. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal asing.
-          DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif. Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang didengar oleh pusat.
Ø  Eksploitasi sumber daya
-          Selama masa pemerintahannya, kebijakan-kebijakan ini dan pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Ø  Diskriminasi terhadap Warga Tionghoa
-          Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. yang secara tidak langsung menghapus hak-hak asasi mereka.
-          Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia, mereka pergi hingga ke Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
-          Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
-          Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga Tionghoa dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air. Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.


Ø  Perpecahan bangsa
-          Pemerintah meningkatkan transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa, terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Ø  Semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme
Ø  Pembangunan Indonesia yang tidak merata
-          Timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya.
Ø  Bertambahnya kesenjangan sosial
-          Perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin.
Ø  Kritik dibungkam dan oposisi diharamkan
-          kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Ø  Tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)

BAB IV
STUDI KASUS
4.1     Penyebab Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
1.      Runtuhnya Orde Baru
Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk, KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan. Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto, Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut, Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD, UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.



2.      Kondisi Politik pada Masa Pemerintahan Habibie
Ketika Habibie mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar yang harus dihadapinya, yaitu:
a.       Masa depan Reformasi;
b.      Masa depan ABRI;
c.       Masa depan daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.      Masa depan Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e.       Masa depan perekonomian dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.
1.      UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.
2.      UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
3.      UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.



BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1       Kesimpulan
          Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya kepemimpinan Soeharto termasuk pada gaya kepemimpinan autokrat, karena pada masa kepemimpinan Soeharto, dalam pengambilan kebijakannya cenderung otoriter dan kurang memperhatikan aspirasi dari masyarakat. Hal ini makin jelas terlihat saat lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982 dan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan) sehingga membatasi pers dalam memuat berita serta membatasi  mahasiswa untuk mengadakan organisasi.
Terdapat kelebihan dari kepemimpinan Soeharto yaitu perkembangan GDP per kapita, pengadaan transmigrasi, sukses repelika, dan sukses swasembada pangan, dan sebagainya. Tetapi pada masa orde baru juga memiliki kekurangan diantaranya maraknya praktek KKN, kondisi ekonomi memburuk dengan banyaknya hutang, kemiskinan, diskriminasi terhadap warga Tionghoa, serta terjadinya peristiwa trisakti yang menewaskan 4 orang mahasiswa. Hal ini menyebabkan Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi, tetapi 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden yaitu B.J. Habibie.
         
5.2     Saran
          Dari kesimpulan diatas, saran yang dapat kami berikan untuk gaya kepemimpinan Soeharto adalah
1.      Jangan terlalu menonjolkan gaya kepemimpinan autokrat yang hanya menjunjung tinggi aspirasi yang berkuasa saja, tetapi tegakkan kembali demokrasi pancasila, dimana setiap warga Negara berhak berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintah.
2.      Jidak berfokus hanya kepada bidang ekonomi tetapi juga di semua sektor.


DAFTAR PUSTAKA
Arsanti, Riski. (2011). Gaya Kepemimpinan Soeharto. [Online]. Tersedia: http://lilbee91.blogspot.com/2011/05/gaya-kepemimpinan-soeharto.html [08 Maret 2012]
Javaccino, Tando. (2011). Kronologi Jatuhnya Orde Baru. Tersedia: http://tando-javaccino.blogspot.com/2009/11/kronologi-jatuhnya-orde-baru.html [08 Maret 2012]
Jurnal Manajemen, Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, Bahan Kuliah Manajemen.(2009). Macam Gaya Kepemimpinan. [Online]. Tersedia: http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/macam-gaya-kepemimpinan-kepemimpinan.html [09 Maret 2012]
Sunardi, Teddy. (2008). Kekurangan dan Kelebihan Orde Baru. [Online]. Tersedia: https://groups.google.com/group/milis-mediacare/msg/150bc63dbf2d751f?hl=id [09 Maret 2012]
Ukas, Maman. (2009). Manajemen: Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung: Agnini Bandung.
Wikipedia. (2012). Sejarah Indonesia (1966-1998). [Online]. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1966-1998)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar