KEPEMIMPINAN PADA MASA ORDE BARU
MAKALAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Bangsa
ini membutuhkan pemimpin yang kuat di berbagai sektor kehidupan masyarakat,
pemimpin yang berwawasan kebangsaaan dalam menghadapi permasalahan bangsa yang
demikian kompleks. Saat ini, kita butuh pemimpin yang berorientasi kepada
kepentingan, kemajuan, dan kejayaan bangsa dan negara, pemimpin berwawasan
kebangsaan, pemimpin Pancasilais, setia kepada Negara Kesatuan Republik
Indonesia dan UUD Negara RI Tahun 1945, serta memahami karakter dan kultur
bangsa Indonesia.
Pemimpin
dan kepemimpinan masa depan yang integratif harus memiliki pola pikir, pola
sikap dan pola tindak sebagai negarawan. Makna dari negarawan adalah seorang
pemimpin yang diharapkan mampu mengubah kondisi saat ini melalui proses untuk
menciptakan kondisi yang diharapkan dalam rangka mencapai tujuan nasional dan
mewujudkan cita-cita nasional. Pemimpin akan dapat melaksanakan fungsi
kepemimpinan-nya dengan efektif, apabila ia diterima, dipercaya, didukung serta
dapat diandalkan. Seorang pemimpin harus memiliki reputasi yang baik,
menunjukkan kinerja yang diakui,
terutama dalam mengantisipasi tantangan-tantangan di depan dan
keberhasilannya mengatasi masalah masalah yang kritikal dan membawa
kemajuan-kemajuan yang dirasakan langsung oleh masyarakat. Hal tersebut
tergantung pada gaya kepemimpinan yang dimiliki oleh setiap pemimpin. Gaya
kepemimpinan yang tepat akan membawa sebuah bangsa ke arah yang lebih baik.
Maka dari itu, diperlukan pembahasan lebih lanjut tentang gaya kepemimpinan
nasional Indonesia. Hal ini diperlukan sebagai bahan evaluasi untuk melihat
gaya kepemimpinan seperti apa yang sesuai dengan bangsa Indonesia.
Kepemimpinan
di Indonesia tentunya tidak akan pernah jauh dari masa kepemimpinan Soeharto.
Rejim Orde Baru dibawah kepemimpinan Soeharto mampu berkuasa di Indonesia
selama kurang lebih 32 dan akhirnya tumbang. Kepemimpinan Soeharto berlangsung
selama Indonesia berada di zaman pembangunan. Soeharto menerapkan Demokrasi
Pancasila selama periode kepemimpinannya.
1. 2 Rumusan Masalah
Berdasarkan
pada latar belakang masalah di atas, masalah dalam makalah ini dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Bagaimana
gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto) ?
2. Keberhasilan
dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto ?
3. Mengapa
kepemimpinan pada masa orde baru diganti dengan masa reformasi?
1. 3 Tujuan Penulisan
Makalah
ini bertujuan untuk :
1. Mengtahui
bagaimana gaya kepemimpinan masa Orde Baru (rezim Soeharto).
2. Mengetahui
keberhasilan dan kegagalan yang dihasilkan dari gaya kepemimpinan Soeharto.
3.
Mengetahui alasan munculnya masa reformasi.
BAB
II
TINJAUAN
TEORI
2.1 Definisi Kepemimpinan
Berikut
definisi kepemimpinan menurut para ahli :
1. Menurut Ralp Stogdill dalam bukunya Handbook of Leadership (1974).
Kepemimpinan adalah suatu proses untuk mempengaruhi suatu kelompok yang
terorganisir dalam usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan.
2. Dalam buku Fundamental Of Manajement,
James H. Donelly (1975) mengemukakan: kepemimpinan adalah suatu proses
mempengaruhi, kegiatan yang merupakan fungsi dari pada kharakter pribadi
pemimpin dan pengikut serta sifat-sifat situasi yang spesifik.
3. Berdasarkan studi literature Wiryono
Hadi Kusumo (1973) dalam bukunya Validita Angket Kepemimpinan mengutip dua
definisi kepemimpinan sebagai berikut :
a.
Kepemimpinan
adalah aktivitas mempengaruhi orang-orang untuk bekerjasama menuju pada
kesesuaian tujuan yang mereka inginkan.
b.
Kepemimpinan
adalah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang-orag sedemikian rupa sehingga
memperoleh kesediaan, kepatuhan, kepercayaan, dan kerjasama yang loyal dengan
maksud menyelesaikan tugas (Manual FM, 22100)
4. Bedeian & Gulleck Manajement (1983)
mengemukakan: kepemimpinan adalah seni mempengaruhi kegiatan kelompok atau
individu menuju pencapaia tujuan perusahaan.
5. John A. Pearce And Richard B. Robinson
(1989) dalam bukunya manajement mengemukakan: kepemimpinan adalah proses
mempengaruhi yang lain untuk bekerja menuju pencapaian tujuan tertentu.
6. Menurut Maman Ukas dalam bukunya Manajemen:
Konsep, Prinsip dan Aplikasi merumuskan bahwa kepemimpinan berarti (2009)
kemampuan yang dimiliki seseorang untuk dapat mempengaruhi orang lain melalui
suatu proses dan aktivitas agar ia mau berbuat sesuatu yang dapat membatu
pencapaian suatu maksud dan tujuan.
Dari
berbagai definisi kepemimpinan diatas, dapat kami simpulkan bahwa kepemimpinan
adalah proses mempengaruhi dan mengarahkan individu atau kelompok agar tercipta
loyalitas untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.
2.2
Gaya Kepemimpinan
Dari
penelitian yang dilakukan Fiedler yang dikutip oleh Prasetyo (2006) ditemukan
bahwa kinerja kepemimpinan sangat
tergantung pada organisasi maupun gaya kepemimpinan. Apa yang bisa dikatakan adalah bahwa pemimpin
bisa efektif ke dalam situasi tertentu dan tidak efektif pada situasi yang
lain. Usaha untuk meningkatkan efektifitas organisasi atau kelompok harus
dimulai dari belajar, tidak hanya bagaimana melatih pemimpin secara efektif,
tetapi juga membangun lingkungan organisasi dimana seorang pemimpin bisa
bekerja dengan baik.
Lebih lanjut menurut Prasetyo, gaya kepemimpinan
adalah cara yang digunakan dalam proses kepemimpinan yang diimplementasikan
dalam perilaku kepemimpinan seseorang untuk mempengaruhi orang lain untuk
bertindak sesuai dengan apa yang dia inginkan. Selain itu menurut Flippo
(1987), gaya
kepemimpinan juga dapat didefinisikan sebagai pola tingkah laku yang
dirancang untuk mengintegrasikan tujuan organisasi dengan tujuan individu untuk
mencapai suatu tujuan tertentu.
Menurut
University of Iowa Studies yang dikutip Robbins dan Coulter (2002), Lewin menyimpulkan ada 3 gaya kepemimpinan; gaya
kepemimpinan autokratis, gaya kepemimpinan demokratis, gaya kepemimpinan
Laissez-Faire (Kendali Bebas).
1. Gaya Kepemimpinan Autokratis
Menurut Rivai (2003), kepemimpinan autokratis adalah
gaya kepemimpinan yang menggunakan metode pendekatan kekuasaan dalam mencapai
keputusan dan pengembangan strukturnya, sehingga kekuasaanlah yang paling
diuntungkan dalam organisasi. Robbins dan Coulter (2002) menyatakan gaya
kepemimpinan autokratis mendeskripsikan pemimpin yang cenderung memusatkan
kekuasaan kepada dirinya sendiri, mendikte bagaimana tugas harus diselesaikan, membuat
keputusan secara sepihak, dan meminimalisasi partisipasi karyawan.
Lebih
lanjut Sukanto (1987) menyebutkan ciri-ciri gaya kepemimpinan autokratis:
1. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
1. Semua kebijakan ditentukan oleh pemimpin.
2. Teknik dan langkah-langkah kegiatannya
didikte oleh atasan setiap waktu, sehingga langkah-langkah yang akan datang
selalu tidak pasti untuk tingkatan yang luas.
3. Pemimpin
biasanya membagi tugas kerja bagian dan kerjasama setiap anggota.
Sedangkan
menurut Handoko dan Reksohadiprodjo (1997), ciri-ciri gaya kepemimpinan
autokratis:
1. Pemimpin kurang memperhatikan kebutuhan
bawahan.
2. Komunikasi hanya satu arah yaitu kebawah
saja.
3. Pemimpin cenderung menjadi pribadi dalam
pujian dan kecamannya terhadap kerja setiap anggota.
4. Pemimpin mengambil jarak dari partisipasi
kelompok aktif kecuali bila menunjukan keahliannya.
2.
Gaya kepemimpinan Demokratis / Partisipatif
Kepemimpinan demokratis ditandai dengan adanya suatu struktur
yang pengembangannya menggunakan pendekatan pengambilan keputusan yang kooperatif.
Dibawah kepemimpinan demokratis bawahan cenderung bermoral tinggi, dapat
bekerja sama, mengutamakan mutu kerja dan dapat mengarahkan diri sendiri
(Rivai, 2006).
Menurut
Robbins dan Coulter (2002), gaya kepemimpinan demokratis mendeskripsikan pemimpin
yang cenderung mengikutsertakan karyawan dalam pengambilan keputusan,
mendelegasikan kekuasaan, mendorong partisipasi karyawan dalam menentukan
bagaimana metode kerja dan tujuan yang ingin dicapai, dan memandang umpan balik
sebagai suatu kesempatan untuk melatih karyawan. Jerris (1999) menyatakan bahwa
gaya kepemimpinan yang menghargai kemampuan karyawan untuk mendistribusikan
knowledge dan
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987):
kreativitas untuk meningkatkan servis, mengembangkan usaha, dan menghasilkan banyak keuntungan dapat menjadi motivator bagi karyawan dalam bekerja.
Ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Sukanto, 1987):
1.
Semua kebijaksanaan terjadi pada kelompok
diskusi dan keputusan diambil dengan dorongan dan bantuan dari pemimpin.
2. Kegiatan-kegiatan didiskusikan, langkah-langkah
umum untuk tujuan kelompok dibuat, dan jika dibutuhkan petunjuk-petunjuk teknis
pemimpin menyarankan dua atau lebih alternatif prosedur yang dapat dipilih.
3. Para anggota bebas bekerja dengan siapa saja
yang mereka pilih dan pembagian tugas ditentukan oleh kelompok.
Lebih lanjut ciri-ciri gaya kepemimpinan demokratis (Handoko dan
Reksohadiprodjo, 1997):
1.
Lebih memperhatikan bawahan untuk mencapai tujuan
organisasi.
2.
Menekankan dua hal yaitu bawahan dan tugas.
3.
Pemimpin adalah obyektif atau fact-minded dalam
pujian dan kecamannya dan mencoba menjadi seorang anggota kelompok biasa dalam
jiwa dan semangat tanpa melakukan banyak pekerjaan.
3.
Gaya Kepemimpinan Laissez-faire (Kendali Bebas)
Gaya
kepemimpinan kendali bebas mendeskripsikan pemimpin yang secara keseluruhan
memberikan karyawannya atau kelompok kebebasan dalam pembuatan keputusan dan
menyelesaikan pekerjaan menurut cara yang menurut karyawannya paling sesuai
(Robbins dan Coulter, 2002).
Ciri-ciri
gaya kepemimpinan kendali bebas (Handoko dan Reksohadiprodjo, 1997):
1.
Pemimpin membiarkan bawahannya untuk mengatur
dirinya sendiri.
2.
Pemimpin hanya menentukan kebijaksanaan dan
tujuan umum.
3.
Bawahan dapat mengambil keputusan yang relevan
untuk mencapai tujuan dalam segala hal yang mereka anggap cocok.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1
Kepemimpinan Pada Masa Orde Baru
Pemerintahan Soeharto
yang di sebut Orde Baru memang mengambil alih kekuasaan dalam keadaan politik
yang kacau, termasuk ketidakpastian ekonomi rakyat karena harga yang meningkat
pesat dan tidak terjangkau oleh daya beli rata-rata masyarakat luas. Karena
itu, sampai beberapa tahun kekuasaan beralih masalah ekonomi masih menjadi
persoalan yang pelik.
Pemerintahan Soeharto
pada waktu itu seperti tidak ada pilihan lain, kecuali mengubah dengan ekstrem
fokus pembangunan di bidang ekonomi dengan cara yang luar biasa untuk memacu
pertumbuhan ekonomi, dan transformasi menuju industrialisasi. Ide gagasan awal
dari pola gerakan pembangunan ekonomi yakni pertumbuhan ekonomi akan menetes ke
bawah dan tidak ada pemerataan tanpa pertumbuhan ekonomi, walaupun pada
akhirnya yang dibagi hanya kemiskinan kepada masyarakat Indonesia. Permasalahan
selanjutnya ketika pertumbuhan ekonomi benar-benar tercapai pada fase
pertengahan kepemimpinan Soeharto sekitar 7-8% pada tahun 1967-1981, tetapi
nampaknya tetap saja pemerataan tertinggal jauh di belakang. Landasan
pembangunan ekonomi Soeharto, pada akhirnya mengakibatkan partisipasi
masyarakat dalam sistem pemerintahan dianggap lebih mengganggu proses
pembangunan.
Pada masa pemerintahan Soeharto,
rakyat tidak bebas dalam bersuara, kebebasan rakyat dibatasi dengan banyak
aturan, dalam berorganisasipun diatur oleh pemerintah secara nyata. Media Pers
dibungkam dengan lahirnya UU Pokok Pers No. 12 tahun 1982. UU ini
mengisyaratkan adanya peringatan mengenai isi pemberitaan ataupun siaran.
Organisasi massa yang terbentuk harus memperoleh izin pemerintah dengan hanya
satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan berdiri. Sedangkan
untuk mengeliminir gerakan mahasiswa maka segera diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan). Kebijakan ini ditentang keras oleh banyak organisasi mahasiswa.
Hubungan kegiatan mahasiswa dengan pihak kampus hanyalah kepada mereka yang
diperbolehkan pemerintah lewat mekanisme kontrol dekanat dan rektorat. Sehingga
organisasi massa tak lebih dari wayang-wayang Orde Baru.
Sedangkan demi terwujudnya Negara
yang bebas dari unsur PKI, Soeharto tak segan-segan dalam memberantas unsur PKI.
Tindakan pembersihan dari unsur-unsur komunis (PKI) membawa tindakan penghukuman mati anggota Partai
Komunis di Indonesia yang menyebabkan pembunuhan sistematis sekitar 500 ribu
"tersangka komunis", kebanyakan warga sipil, dan kekerasan terhadap
minoritas Tionghoa Indonesia. Belum lagi penculikan terhadap
keluarga anggota PKI. Disini terlihat sekali bagaimana ambisiusnya seorang
Soeharto untuk mewujudkan misi dan visinya tanpa menghiraukan hubungannya
dengan masyarakat.
Ambisi yang lainnya saat menjadikan Timor Timur sebagai provinsi ke-27 (saat itu) juga dilakukannya karena
kekhawatirannya bahwa partai Fretilin (Frente Revolucinaria De Timor Leste Independente
/partai yang berhaluan sosialis-komunis) akan berkuasa di sana bila dibiarkan
merdeka. Hal ini telah mengakibatkan menelan ratusan ribu korban jiwa sipil.
Sistem otoriter yang dijalankan Soeharto dalam masa pemerintahannya
membuatnya populer dengan sebutan "Bapak", yang pada jangka panjangnya menyebabkan pengambilan
keputusan-keputusan di DPR kala itu disebut secara konotatif oleh masyarakat Indonesia
sebagai sistem "ABS" atau "Asal Bapak Senang".
Pemerintahan bagai dimonopoli agar dapat berjalan sesuai dengan apa yang
diinginkan oleh Soeharto.
Disini dapat dilihat bahwa dalam
gaya kepemimpinan Soeharto cenderung pada gaya kepemimpinan yang autokratis,
karena pada masa orde baru kekuasaan lebih terpusat terlebih rakyat tidak
diberi kesempatan untuk beraspirasi dengan adanya UU Pokok Pers No. 12 tahun
1982 yang didalamnya tidak boleh berserikat kecuali dengan izin pemerintah
dengan hanya satu organisasi profesi buatan pemerintah yang diperbolehkan
berdiri, serta diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi
Kemahasiswaan).
3.2
Kelebihan Pada Masa Orde Baru
Kelebihan pada masa orde baru adalah sebagai berikut:
1.
Perkembangan GDP per
kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya AS$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari
AS$1.000.
2.
Sukses transmigrasi
Pada
masa kepemimpinan presiden Soeharto sangat mementingkan persatuan bangsa
Indonesia. Salah satu cara Pemerintah adalah dengan cara meningkatkan
transmigrasi dari daerah yang padat penduduknya
seperti Jawa, Bali dan Madura ke daerah
yang tidak terlalu padat seperti di luar Jawa, terutama ke Kalimantan,
Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya.
3.
Sukses REPELITA
(Rencana Pembangunan Lima Tahun)
Pembangunan nasional
direalisasikan melalui Pembangunan Jangka Pendek dan Pembangunan Jangka
Panjang. Dan Pembangunan Jangka Pendek dirancang melalui program Pembangunan
Lima Tahun (Pelita). Selama masa Orde Baru, pemerintah telah melaksanakan enam
Pelita yaitu
1)
Pelita I
Pelita
I dilaksanakan mulai 1 April 1969 sampai 31 Maret 1974, dan menjadi landasan awal
pembangunan masa Orde Baru. Tujuan Pelita I adalah meningkatkan taraf hidup
rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan tahap berikutnya.
Sasarannya adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana perumahan rakyat, perluasan
lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Titik beratnya adalah pembangunan
bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi
melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk
Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.
2)
Pelita II
Pelita
II mulai berjalan sejak tanggal 1 April 1974 sampai 31 Maret 1979. Sasaran
utama Pelita II ini adalah tersedianya pangan, sandang, perumahan, sarana
prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas kesempatan kerja. Pelaksanaan
Pelita II dipandang cukup berhasil. Pada awal pemerintahan Orde Baru inflasi
mencapai 60% dan pada akhir Pelita I inflasi berhasil ditekan menjadi 47%. Dan
pada tahun keempat Pelita II inflasi turun menjadi 9,5%.
3)
Pelita III
Pelita
III dilaksanakan pada tanggal 1 April 1979
sampai 31 Maret 1984. Pelaksanaan Pelita III masih
berpedoman pada Trilogi Pembangunan, dengan titik
berat pembangunan adalah pemerataan yang dikenal dengan Delapan Jalur
Pemerataan.
4)
Pelita IV
Pelita
IV dilaksanakan tanggal 1 April 1984 sampai 31 Maret 1989. Titik berat Pelita IV
ini adalah sektor pertanian untuk menuju swasembada pangan, dan meningkatkan
industri yang dapat menghasilkan mesin industri sendiri. Dan di tengah
berlangsung pembangunan pada Pelita IV ini yaitu awal tahun 1980
terjadi resesi. Untuk mempertahankan kelangsungan
pembangunan ekonomi, pemerintah mengeluarkan kebijakan moneter dan fiskal. Dan
pembangunan nasional dapat berlangsung terus.
5)
Pelita V
Pelita
V dimulai 1 April 1989 sampai 31 Maret 1994. Pada Pelita ini
pembangunan ditekankan pada sector pertanian dan industri. Pada masa itu
kondisi ekonomi Indonesia berada pada posisi yang baik, dengan pertumbuhan
ekonomi sekitar 6,8% per tahun. Posisi perdagangan luar negeri
memperlihatkan gambaran yang menggembirakan. Peningkatan ekspor lebih baik
dibanding sebelumnya.
6)
Pelita VI
Pelita
VI dimulai 1 April 1994 sampai 31 Maret 1999. Program pembangunan pada Pelita VI
ini ditekankan pada sektor ekonomi yang berkaitan
dengan industri dan pertanian, serta peningkatan kualitas sumber daya manusia
sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak
pembangunan. Namun pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri
yang mengganggu perekonomian telah menyebabkan proses pembangunan terhambat,
dan juga menyebabkan runtuhnya pemerintahan Orde Baru.
4.
Sukses KB
5.
Sukses memerangi buta
huruf
6.
Sukses swasembada
pangan
7.
Sukses Gerakan
Wajib Belajar
8.
Sukses Gerakan
Nasional Orang-Tua Asuh
9.
Sukses keamanan
dalam negeri
10.
Investor asing mau
menanamkan modal di Indonesia
11.
Sukses menumbuhkan
rasa nasionalisme dan cinta produk dalam negeri.
3.3 Kelemahan
Pada Masa Orde Baru
Ø Politik
-
Mendaftarkan Indonesia menjadi anggota PBB
lagi. Ini merupakan langkah awal dari ketergantungan Indonesia terhadapa modal
asing.
-
DPR dan MPR tidak berfungsi secara efektif.
Anggotanya bahkan seringkali dipilih dari kalangan militer, khususnya mereka
yang dekat dengan Cendana. Hal ini mengakibatkan aspirasi rakyat sering kurang
didengar oleh pusat.
Ø Eksploitasi
sumber daya
-
Selama masa pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan ini dan pengeksploitasian sumber daya alam secara
besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di
Indonesia. Contohnya, jumlah orang yang kelaparan dikurangi dengan besar pada
tahun 1970-an dan 1980-an.
Ø Diskriminasi
terhadap Warga Tionghoa
-
Warga keturunan Tionghoa dilarang berekspresi. yang
secara tidak langsung menghapus hak-hak asasi mereka.
-
Kesenian barongsai secara terbuka, perayaan
hari raya Imlek, dan pemakaian Bahasa Mandarin dilarang, meski kemudian hal ini
diperjuangkan oleh komunitas Tionghoa Indonesia, mereka pergi hingga ke
Mahkamah Agung dan akhirnya Jaksa Agung Indonesia waktu itu memberi izin dengan
catatan bahwa Tionghoa Indonesia berjanji tidak menghimpun kekuatan untuk
memberontak dan menggulingkan pemerintahan Indonesia.
-
Agama tradisional Tionghoa dilarang. Akibatnya
agama Konghucu kehilangan pengakuan pemerintah.
-
Pemerintah Orde Baru berdalih bahwa warga
Tionghoa dikhawatirkan akan menyebarkan pengaruh komunisme di Tanah Air.
Padahal, kenyataan berkata bahwa kebanyakan dari mereka berprofesi sebagai
pedagang, yang tentu bertolak belakang dengan apa yang diajarkan oleh
komunisme, yang sangat mengharamkan perdagangan dilakukan. Orang Tionghoa
dijauhkan dari kehidupan politik praktis. Sebagian lagi memilih untuk menghindari
dunia politik karena khawatir akan keselamatan dirinya.
Ø Perpecahan
bangsa
-
Pemerintah meningkatkan transmigrasi dari
daerah yang padat penduduknya seperti Jawa, Bali dan Madura ke luar Jawa,
terutama ke Kalimantan, Sulawesi, Timor Timur, dan Irian Jaya. Namun dampak
negatif yang tidak diperhitungkan dari program ini adalah terjadinya
marjinalisasi terhadap penduduk setempat dan kecemburuan terhadap penduduk
pendatang yang banyak mendapatkan bantuan pemerintah. Muncul tuduhan bahwa
program transmigrasi sama dengan jawanisasi yang disertai sentimen anti-Jawa di
berbagai daerah, meskipun tidak semua transmigran itu orang Jawa.
Ø Semaraknya
korupsi, kolusi, nepotisme
Ø Pembangunan
Indonesia yang tidak merata
-
Timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot
ke pusat munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan
pembangunan, terutama di Aceh dan Papua kecemburuan antara penduduk setempat
dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan pemerintah yang cukup besar
pada tahun-tahun pertamanya.
Ø Bertambahnya
kesenjangan sosial
-
Perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si
kaya dan si miskin.
Ø Kritik
dibungkam dan oposisi diharamkan
-
kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh
banyak koran dan majalah yang dibreidel penggunaan kekerasan untuk menciptakan
keamanan, antara lain dengan program "Penembakan Misterius" (petrus)
Ø Tidak
ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya)
BAB IV
STUDI KASUS
4.1 Penyebab
Runtuhnya Orde Baru dan Lahirnya Reformasi
Penyebab utama
runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997. Sejak
tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis
keuangan yang melanda Asia. Keadaan terus memburuk, KKN semakin merajalela,
sementara kemiskinan rakyat terus meningkat. Terjadinya ketimpangan sosial yang
sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial. Muncul demonstrasi yang
digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah perbaikan
ekonomi dan reformasi total. Demonstrasi besar-besaran dilakukan di Jakarta
pada tanggal 12 Mei 1998. Pada saat itu terjadi peristiwa Trisakti, yaitu meninggalnya
empat mahasiswa Universitas Trisakti akibat bentrok dengan aparat keamanan.
Empat mahasiswa tersebut adalah Elang Mulya Lesmana, Hery Hariyanto,
Hendriawan, dan Hafidhin Royan. Keempat mahasiswa yang gugur tersebut kemudian
diberi gelar sebagai “Pahlawan Reformasi”. Menanggapi aksi reformasi tersebut,
Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet Pembangunan VII menjadi
Kabinet Reformasi. Selain itu juga akan membentuk Komite Reformasi yang
bertugas menyelesaikan UU Pemilu, UU Kepartaian, UU Susduk MPR, DPR, dan DPRD,
UU Antimonopoli, dan UU Antikorupsi. Dalam perkembangannya, Komite Reformasi
belum bisa terbentuk karena 14 menteri menolak untuk diikutsertakan dalam
Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan Presiden Soeharto
mundur dari jabatannya.
Akhirnya pada
tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie.
Peristiwa ini menandai berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde
Reformasi.
Ketika Habibie
mengganti Soeharto sebagai presiden tanggal 21 Mei 1998, ada lima isu terbesar
yang harus dihadapinya, yaitu:
a.
Masa depan
Reformasi;
b.
Masa depan ABRI;
c.
Masa depan
daerah-daerah yang ingin memisahkan diri dari Indonesia;
d.
Masa depan
Soeharto, keluarganya, kekayaannya dan kroni-kroninya; serta
e.
Masa depan perekonomian
dan kesejahteraan rakyat.
Berikut ini
beberapa kebijakan yang berhasil dikeluarkan B.J. Habibie dalam rangka
menanggapi tuntutan reformasi dari masyarakat.
a. Kebijakan dalam bidang politik
Reformasi dalam
bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru
dengan tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga
undang-undang tersebut.
1.
UU No. 2 Tahun
1999 tentang Partai Politik.
2.
UU No. 3 Tahun
1999 tentang Pemilihan Umum.
3.
UU No. 4 Tahun
1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.
b. Kebijakan dalam bidang ekonomi
Untuk
memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan,
pemerintah membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya
pemerintah mengeluarkan UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli
dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan
Konsumen.
c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers
Kebebasan
menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat
dari munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi.
Masyarakat bisa menyampaikan kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di
samping kebebasan dalam menyatakan pendapat, kebebasan juga diberikan kepada
pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan permohonan
Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP).
Pada masa
pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai
dan pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai
politik. Keberhasilan lain masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian
masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan diri dari Indonesia
mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30
Agustus 1999 di bawah pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut
menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur lepas dari Indonesia. Sejak saat
itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor Timur
mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan
presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa gaya
kepemimpinan Soeharto termasuk pada gaya kepemimpinan autokrat, karena pada
masa kepemimpinan Soeharto, dalam pengambilan kebijakannya cenderung otoriter dan
kurang memperhatikan aspirasi dari masyarakat. Hal ini makin jelas terlihat
saat lahirnya UU Pokok
Pers No. 12 tahun 1982 dan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan
Koordinasi Kemahasiswaan) sehingga membatasi pers dalam memuat berita serta
membatasi mahasiswa untuk mengadakan
organisasi.
Terdapat
kelebihan dari kepemimpinan Soeharto yaitu perkembangan GDP per kapita,
pengadaan transmigrasi, sukses repelika, dan sukses swasembada pangan, dan
sebagainya. Tetapi pada masa orde baru juga memiliki kekurangan diantaranya
maraknya praktek KKN, kondisi ekonomi memburuk dengan banyaknya hutang,
kemiskinan, diskriminasi terhadap warga Tionghoa, serta terjadinya peristiwa
trisakti yang menewaskan 4 orang mahasiswa. Hal ini menyebabkan Presiden Soeharto berjanji akan mereshuffle Kabinet
Pembangunan VII menjadi Kabinet Reformasi, tetapi 14 menteri menolak untuk
diikutsertakan dalam Kabinet Reformasi. Adanya penolakan tersebut menyebabkan
Presiden Soeharto mundur dari jabatannya sebagai presiden dan menyerahkan
jabatannya kepada wakil presiden yaitu B.J. Habibie.
5.2 Saran
Dari kesimpulan diatas, saran yang
dapat kami berikan untuk gaya kepemimpinan Soeharto adalah
1.
Jangan
terlalu menonjolkan gaya kepemimpinan autokrat yang hanya menjunjung tinggi
aspirasi yang berkuasa saja, tetapi tegakkan kembali demokrasi pancasila,
dimana setiap warga Negara berhak berpartisipasi dalam penyelenggaraan
pemerintah.
2. Jidak berfokus hanya kepada bidang ekonomi
tetapi juga di semua sektor.
DAFTAR PUSTAKA
Arsanti,
Riski. (2011). Gaya Kepemimpinan Soeharto. [Online]. Tersedia: http://lilbee91.blogspot.com/2011/05/gaya-kepemimpinan-soeharto.html
[08
Maret 2012]
Javaccino,
Tando. (2011). Kronologi Jatuhnya Orde
Baru. Tersedia: http://tando-javaccino.blogspot.com/2009/11/kronologi-jatuhnya-orde-baru.html
[08
Maret 2012]
Jurnal
Manajemen, Jurnal Manajemen Sumber Daya Manusia, Bahan Kuliah Manajemen.(2009). Macam Gaya Kepemimpinan. [Online]. Tersedia: http://jurnal-sdm.blogspot.com/2009/10/macam-gaya-kepemimpinan-kepemimpinan.html
[09
Maret 2012]
Sunardi, Teddy. (2008). Kekurangan
dan Kelebihan Orde Baru. [Online]. Tersedia: https://groups.google.com/group/milis-mediacare/msg/150bc63dbf2d751f?hl=id [09 Maret 2012]
Ukas, Maman. (2009). Manajemen:
Konsep, Prinsip dan Aplikasi. Bandung: Agnini Bandung.
Wikipedia. (2012). Sejarah Indonesia (1966-1998). [Online].
Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Sejarah_Indonesia_(1966-1998)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar